Dini hari itu Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan
shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah
tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah
keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa
karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan
bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti
kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju
masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal
memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap
penjuru Kota Madinah.
Namun belumlah begitu banyak melangkah, di
jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya
sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu
melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya
yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan
shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat
Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim
menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun
terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek
berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat.
Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya.
Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah
mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.
Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia
bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat
masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan
untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk
bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab
memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini
shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”
Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”
“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engaku rukuk dalam rakaat yang
kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali.
Kenapa?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi,
pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril
tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat
bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui
juga.”
Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”
Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia
berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah
untuk menekan punggunmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali
mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat
suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara
bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari
pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena
kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi,
pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk
mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat
menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya
menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain.
Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau
meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu
kepada para sahabat.